Kamis, 26 Februari 2009

Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus

Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.

Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri. Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa.

Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

Sumber : www.kompas.com

Malang Gelar Pendidikan Khusus

Malang, Kominfo-Newsroom -- Pemerintah Kabupaten Malang, Jawa Timur, melalui kebijakannya sesuai amanat UUD 1945, serta UU Sisdiknas N0 20 Tahun 2003, akan segera melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi penderita autis.

Anak penderita autis atau anak-anak dengan berkebutuhan khusus (ABK) yang mengalami kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapat pendidikan guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.

Selain pendidikan khusus, pemkab Malang juga akan menambah sekolah inklusif (sekolah biasa) yang dapat mengakomodir semua anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik Kepala Sekolah, guru, orang tua peserta didik, tenaga administrasi serta lingkungan sekolah/masyarakat.

Saat ini jumlah sekolah inklusif yang ada di Kabupaten Malang baru delapan sekolah yang tersebar di delapan kecamatan, sedangkan SLB yang ada masih sangat terbatas dan letaknya jauh.

''Ke depan akan dikembangkan sekolah untuk ABK pada masing-masing kecamatan di tiap eks pembantu Bupati,'' kata Kadis P dan K, Drs Suwandi MM, MSC, pada acara sosialisasi pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus kerjasama Tim Penggerak PKK dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Malang, belum lama ini.

Ia mengharapkan, melalui kerjasama yang sinergi antara Dinas P dan K dan TP.PKK (Pokja II) dapat meningkatkan pemahaman terhadap masyarakat tentang arti pentingnya Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus bagi penderita autis guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi. (www.jatim.go.id/hsn/toeb)

endonesia.com

Pesantren Dalam Dilema

Sejarah pendidikan pesantren akan segera memasuki babak baru pasca-terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Mampukah peraturan yang disahkan bertepatan dengan Hari ABRI (5 Oktober 2007) itu menjadi instrumen pengembangan dan akomodasi pesantren dalam kebijakan pemerintah? Atau sebaliknya, ia justru menjadi alat homogenisasi-hegemonik pemerintah terhadap pesantren?


Peluang
Di satu sisi, terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan peluang emas bagi pengembangan pesantren. Pasalnya, UU tersebut telah menghapus diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang berlangsung selama ini. Konkretnya, pendidikan diniyah dan pesantren telah diakui sebagai bentuk pendidikan keagamaan (pasal 30 ayat 4).

Dengan demikian, beberapa kalangan meyakini nasib lembaga pendidikan yang genuine dan tertua di Indonesia ini bakal menjadi ”lebih baik”. Kecenderungan aparat birokrasi pendidikan meminggirkan pesantren dari arus utama kebijakan selama ini tidak sah lagi diteruskan. Dukungan kebijakan dan pendanaan untuk pendidikan diniyah dan pesantren pun diyakini akan lebih besar daripada sebelumnya.

Pada saat sama, dengan persyaratan tertentu, alumni pendidikan diniyah dan pesantren akan mendapatkan perlakuan dan pengakuan yang sama dengan alumni pendidikan umum. Artinya, kesinambungan pendidikan dan kiprah sosial-politik-kemasyarakatan alumni pesantren tidak akan terhalang hanya karena yang bersangkutan tidak pernah mengenyam pendidikan umum atau memiliki ijazah ”pendidikan formal”.

Konsekuensinya, kedua institusi pendidikan keagamaan ini akan terikat dengan berbagai regulasi teknis dan ketentuan administratif. Dan, inilah harga yang harus dibayar kalangan pesantren untuk mendapatkan kesetaraan perlakuan dan pengakuan tersebut.

Pertanyaannya, wajarkah harga tersebut bila dibandingkan dengan ”fasilitas” yang akan diperoleh? Jawaban atas pertanyaan ini akan dapat ditemukan dengan mencermati beberapa ketentuan yang termaktub dalam PP 55/2007.

Dilema
Terlepas dari berbagai ”janji sorga” yang disampaikan pemerintah, peraturan ini menyimpan sedikitnya tiga ranjau yang menjadi dilema dan mengancam eksistensi, karakter dan kekhasan pesantren dalam jangka panjang.

Pertama, pesantren sejak awal harus mewaspadai kecenderungan timpangnya eksekusi kewenangan pemerintah dibanding pemenuhan kewajiban dan tanggung jawabnya. Kasus reduksi pemenuhan kewajiban pemerintah atas pembiayaan pendidikan dasar yang di-”make up” dengan istilah ”bantuan” dalam program bantuan operasional sekolah (BOS) adalah indikasi nyata kuatnya kecenderungan itu. Contoh aktual adalah implementasi UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang karut marut belakangan ini.

Kedua, terkait kecenderungan di atas, perlu juga diwaspadai adanya upaya homogenisasi-hegemonik dan birokratisasi pesantren dan pendidikan diniyah melalui instrumen evaluasi dan akreditasi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 PP No 55/2007, pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP) setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama. Sementara itu, pelaksanaan ujian nasional ditetapkan dengan Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada SNP (Pasal 19).

Sekilas, tidak ada sesuatu yang janggal dalam ketentuan ini. Tetapi, jika kita cermati ruang lingkup SNP dalam PP No 19/2005, maka kejanggalan itu akan tampak. Pasalnya, SNP meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (pasal 2 ayat 1).

Artinya, untuk implementasi peraturan ini, pemerintah perlu membentuk lembaga sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan atau lembaga penjaminan mutu. Dalam sebuah diskusi, penulis secara berkelakar menyampaikan bahwa jika Departemen Pendidikan Nasional mengatur lembaga sertifikasi guru, maka Departemen Agama dalam waktu dekat akan mengatur lembaga sertifikasi kiai.

Ketiga, intervensi kurikulum. Kurikulum pendidikan diniyah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam untuk diniyah dasar serta ditambah pendidikan seni dan budaya untuk diniyah menengah (Pasal 18).

Dibandingkan dengan draf awal rancangan PP ini yang disusun pada 2003, ketentuan di atas jauh lebih longgar. Sebelumnya, ketentuan kurikulum pendidikan diniyah mencantumkan lebih dari 10 mata pelajaran yang wajib diajarkan. Meski demikian, tidak ada jaminan bahwa jumlah mata pelajaran tersebut tidak akan ditambah seiring dengan implementasinya di kemudian hari.
Pasalnya, meski dihapus dari PP, pengaturan isi kurikulum pendidikan keagamaan justru dialihkan kepada Peraturan Menteri Agama dengan merujuk SNP. Jika demikian halnya, nasib diniyah hampir dapat dipastikan akan segera menyusul nasib madrasah (ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah) yang awalnya hanya diwajibkan memiliki muatan pendidikan umum sekitar 30 persen.

Di atas itu semua, berbagai prosedur teknis-administratif yang disyaratkan dalam peraturan ini akan menyeret pendidikan diniyah dan pesantren ke dalam pusaran birokratisasi yang melelahkan. Dalam kondisi begitu, peran pesantren –dengan lembaga pendidikan diniyah di dalamnya-- akan tereduksi sebagai lembaga pendidikan semata.

Padahal, dalam sejarah panjangnya, peran pesantren telah melingkupi enam ranah penting sekaligus. Yaitu, sebagai lembaga pendidikan, lembaga keilmuan, lembaga pelatihan, lembaga pemberdayaan masyarakat, lembaga bimbingan keagamaan, dan simpul budaya (Dian Nafi’ et al, 2007).

Keenam peran tersebut pada umumnya dijalankan pesantren secara bertahap. Dan, peran sebagai lembaga pendidikan adalah tahap pertama dari keseluruhan peran tersebut. Karena itu, jika energi pesantren tersita untuk pemenuhan hal-hal yang bersifat administratif-birokratis, bukan tidak mungkin peran-peran lainnya akan tereduksi secara alamiah. Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Nur Hidayat.
Pemerhati kebijakan pendidikan, peneliti pada The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP)
pesantrenvirtual.com

Pendidikan Anak Usia Dini


Pendidikan Informal


Korporatorial Pendidikan Non Formal

Hadirnya Lembaga Pendidikan Non Formal, Suatu Upaya Membuka Ruang Kesadaran Baru

Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.

Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.

Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.

Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan.

Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.

Fleksibilitas waktu
Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.

Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.

Antonius Sumarno selaku Branch Manager English Language Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan.

Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.

Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.

Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan". (CY1)
Yogyakarta
kompas.com

Kesiapan PT Menyongsong PP Dosen

Isu strategis otonomi perguruan tinggi (PT) yang digulirkan oleh paradigma baru pendidikan tinggi membawa konsekuensi pergeseran yang substansial dalam penataan kelembagaan. Reformasi pengelolaan internal dan tuntutan globalisasi PT dalam menata kelembagaan merupakan suatu keharusan. Kenyataan menunjukkan bahwa segudang persoalan PT saat ini masih perlu mendapatkan perhatian yang serius terutama dalam menghadapi diberlakukannya peraturan pemerintah tentang dosen.


Itulah tema diskusi menarik yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan, Depdiknas yang dihadiri oleh para rektor PTN dan beberapa pimpinan PTS beberapa hari yang lalu dalam rangka uji publik RPP dosen. Paparan secara substantif RPP dosen secara gambang disampaikan oleh direktur jenderal pendidikan tinggi Prof. Dr. Ir. Satryo Soemantri Brodjonegoro, sekaligus mengajak pimpinan PT untuk bersama-sama mengantisipasi kesiapannya dalam menyambut lahirnya PP dosen dimaksud.


Ada persoalan yang mengemuka akhir-akhir ini yang dihadapi sekaligus sebagai cerminan kondisi riil PT kita. Pertama, input mahasiswa yang cenderung tingkat kompetisinya menurun ditilik dari rasio jumlah pendaftar dengan yang diterima sebagai mahasiswa. Bahkan nilai ambang kelulusannya pun diturunkan dan hanya program studi favorit saja yang tingkat kompetisinya agak lumayan, misalnya program studi teknologi informasi, kedokteran dan psikologi.


Kedua, perubahan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang telah digulirkan belum sepenuhnya diindahkan oleh para pengelola PT, bahkan juga masih adanya miskonsepsi tentang pemahaman KBK. Kenyataan ini diperparah oleh kondisi kurang relevan kompetensi lulusan dengan tuntutan kerja. Dalam tataran lokal, kecenderungan pencari kerja meningkat sangat tajam di setiap kabupaten dan kota dalam propinsi Jambi. Tidak kurang dari 93 ribu pencari kerja membutuhkan lapangan kerja (Jambi Ekspres, 2/06/2007).


Ketiga, dari sekitar 300 ribu dosen yang ada, kualifikasinya masih memprihatinkan. Rasio dosen yang berkualifikasi S2, S3 dan jumlah guru besar (Profesor) belum sebanding dengan jumlah mahasiswa dan penyebaran bidang ilmunya belum merata. Bahkan, dapat diindikasikan bahwa dosen kita produktifitasnya rendah dalam kegiatan tri dharma PT terutama dalam kegiatan penelitian. Kondisi ini diperparah oleh infrastruktur sebagai penunjang pembelajaran berbasis TIK dan piranti lunak belum sepenuhnya memadai. Padahal TIK sebagai sarana untuk menumbuhkan iklim akademik serta meng-update model pembelajaran yang dikembangkan oleh dosen.


Keempat, program studi belum semuanya terakreditasi oleh BAN-PT dan belum banyak prodi yang memiliki akreditasi A. Adanya kecenderungan pergeseran penyelenggaraan pendidikan tinggi tak ubahnya menjadi lembaga kursus berkembang akhir-akhir ini. Kondisi ini disinyalir karena penjaminan mutu belum sepenuhnya dilaksanakan secara konsisten. Dalam tataran teknis rencana strategis, peraturan akademik serta prosedur standar operasi (SOP) dimaknai sebatas sebagai dokumen pelengkap borang akreditasi saja dan belum sepenuhnya dijadikan kerangka acuan kerja.


Dari potret itulah kiranya, reformasi manajemen internal PT tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tuntutan yang mengemuka bagi pimpinan PT setidaknya menerapkan manajemen PT yang aplicable, diharapkan dapat menghasilkan keefektifan siklus mutu yang telah ditetapkan dan dilaksanakan secara utuh untuk mencapai sasaran mutu manajemen dan target mutu yang terukur. Dengan demikian membuka peran dari berbagai komponen pendidikan terutama memungkinkan seluruh stakeholders berkontribusi secara maksimal untuk mencapai tujuan dan kredibilitas PT.


Untuk menggapai ke arah itu setidaknya ada dua model kinerja manajemen yang dapat dijadikan pertimbangan dasar dalam mengembangkan PT. Pertama, kinerja institusi internal yakni menumbuhkan budaya dan kualitas institusi, moral, norma, institutional self perception. Kedua, faktor eksternal yang menyangkut persepsi atas kinerja, reputasi dalam kualitas, (quality award, acreditation, institutional awards) yang secara gambang diuraikan oleh Horald Perkin (2006), dalam bukunya yang bertajuk International Handbook of Higher Education.


Dalam tataran teknis, selaras dengan itu ada beberapa model organisasi yang berkembang dewasa ini, diantaranya model birokratik (prosedural, kekuasaan tersentraslisasi, efisiensi rendah dan mudah dimobilisasi), autokratik (misi spesifik, fokus, disiplin tinggi, kompak, efisiensi tinggi, ketergantungan tinggi, inovasi dan kreatifitas tidak mudah). Collegial (inovatif dan kreatif, keputusan oleh komite, lamban dan konservatif) contohnya universitas. Corpotate (efisien, responsif, dinamis, ketergantungan pada pimpinan tinggi, inovasi dan kreatifitas di tingkat bawah tidak mudah, profit motif (industri).


Untuk memilih model yang sesuai dengan PT hendaknya diterapkan Good University Governance (GUG), karena tidak semua model TQM industri mudah diterapkan di PT, harus mampu menumbuhkan kreativitas dan inovasi dengan target mutu produk, harus dipacu secara proporsional sesuai dengan kearifan budaya lokal. Prinsip dasar GUG kredibelitas (kualitas pejabat) sangat menentukan, faktanya pimpinan PT adalah dosen yang perlu diasah integritas, kepemimpinan dan kapasitas manajerialnya. Kebenaran dan objektifitas (transparansi), menepati janji dan tanggung jawab (accountability and responsibility) dan adil (fairness) menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola PT.


Konsekuensi PT versus diberlakukan PP dosen


Anggaran pemerintah terutama pendidikan tinggi akan bergeser dari yang semula investasi infrastruktur ke penggajian dosen akibat munculnya berbagai tunjangan bagi dosen. Padahal, pekerjaan rumah bagi PT masih banyak dalam rangka menata kesiapan akan diberlakukannya PP dosen tersebut.


Pekerjaan yang amat berat bagi pengelola PT dalam meningkatkan kualifikasi dosen PT, apabila PP tersebut diberlakukan adalah PT dituntut untuk memacu peningkatan kualifikasi dosen yang belum S-2 dan S-3. Sementara itu, beasiswa bagi dosen dari pemerintah pusat belumlah memadai sehingga mencari sumber beasiswa dari pemerintah daerah atau sumber-sumber lain yang relevan sebagai alternatif sangatlah dibutuhkan. Di sisi lain, mendorong dosen yang sudah berkualifikasi S-3 untuk mencapai kualifikasi guru besar merupakan tantangan tersendiri yang tidak kalah peliknya. Mendorong, memfasilitasi dan meningkatkan produktifitas, inovasi dan kreatifitas dosen yang berkualifikasi S-3 dalam mengemban tri dharma PT dengan berbagai kendala yang ada, juga menjadi persoalan ke arah itu.


Sebagai upaya untuk mengembangkan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial dosen diwajibkan untuk mengikuti sertifikasi. Model penilaian yang akan dikembangkan adalah model portofolio yang dilaksanakan oleh PT terakreditasi. PT yang diberi kewenangan untuk itu, paling kurang memiliki program studi dengan akreditasi B. Berdasarkan data dari Badan Akreditasi Nasional PT (BAN-PT), belum semua program studi yang terakreditasi B. Jumlah program studi yang terakreditasi B berkisar 30% dan 50% terakreditasi C.


Merujuk pada RPP dosen pasal 8, proses sertifikasi dosen yang akan diberlakukan hendaknya dilakukan secara objektif, transparan dan akuntabel meliputi masukan, proses dan hasil dan hendaknya dilakukan pula tidak diskriminatif yang tentunya memenuhi Standar Nasional Pendidikan yang telah ditetapkan. Yang pada gilirannya proses sertifikasi dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan pendidikan secara administratif, finansial dan akademik.


Sebagai konsekuensi kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi dosen adalah mendapatkan hak berupa tunjangan yang memadai. Tunjangan dimaksud terdiri dari tunjangan profesi, fungsional dan subsidi tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, kesetaraan tunjangan dan maslahat tambahan. Persyaratannyapun juga tidak gampang. Untuk mendapatkan tunjangan profesi misalnya, dosen harus memenuhi persyaratan akademik seperti yang diamanatkan oleh UU No. 14 tahun 2005, beban kerja tri dharma PT yang mencukupi, persyaratan administrasi lainnya serta memiliki sertifikat pendidik yang terdaftar di departemen pendidikan nasional. Tidak kalah pentingnya adalah kemampuan dalam bidang keahlian khusus juga dijadikan persyaratan yang secara jelas termaktup dalam RPP pada pasal 10 ayat 5 point a.


Yang lebih menarik dari sekian banyak tunjangan yang akan diberikan kepada dosen adalah tunjangan kehormatan. Dosen yang pantas dan berhak untuk mendapatkan tunjangan ini hanyalah dosen yang berpredikat dan menyandang jabatan guru besar. Nilai nominalnya sebesar dua kali lipat gaji pokok guru besar. Padahal, bila merujuk UU No 14 tahun 2005 dalam pasal 48 ayat 3 untuk memangku jabatan guru besar tidaklah mudah, yakni harus berkualifikasi doktor (S-3).


Sementara itu, Dirjen Dikti melalui surat edaran No:1785/D/C/2006 tertanggal 29 Mei 2006 telah menutup pintu rapat-rapat bagi dosen yang memiliki kualifikisasi non S-3 untuk mengusulkan jabatan guru besar. Masa transisi yang diberikan untuk mengusulkan jabatan guru besar yang berpendidikan non-S-3 telah berakhir bulan Desember 2006 yang lalu. Konsekuensinya, tidak ada jalan lain kecuali dosen harus studi lanjut bila menginginkan jabatan yang bergengsi dan tertinggi sebagai karier dosen. Tentunya, kebijakan ini akan menyulitkan PT untuk meningkatkan kualifikasi dosen.


Dalam konteks aneka tunjangan yang akan diberikan kepada dosen PT, kendala yang dihadapi disamping kualifikasi juga menumbuhkan kreatifitas, inovatif dan berjiwa korporatif bagi dosen tidaklah mudah. Padahal, untuk menggapai ke arah itu, dibutuhkan iklim akademik yang kondusif, organisasi yang sehat, otonomi yang kuat serta komitmen yang memadai.


Angin segar juga akan diberikan kepada dosen yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, memiliki karya inovatif yang diakui dalam skala lokal, nasional maupun internasional, membimbing mahasiswa dalam berbagai perlombaan yang bersifat akademik serta kinerjanya melampau target kinerja yang ditetapkan dalam satuan pendidikan tinggi merupakan barometer untuk mendapatkan penghargaan ini. Disamping itu, promosi kepangkatan juga akan diberikan bila dosen memiliki prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Pemberian akses yang seluas-luasnya kepada dosen dalam rangka mengembangkan profesionalismenya menjadi tantangan tersendiri. Misalnya, perlindungan dalam melaksanakan tugas, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), pemanfaatan sarana dan prasarana pembelajaran, kebebasan berorganisasi profesi, peningkatan kompetensi serta kebebasan akademik dalam konteks keilmuan.


Pada akhirnya, kesiapan kita untuk menjadi PT yang berkualitas, memiliki daya saing, dan bermartabat untuk menyongsong datangnya PP Dosen ada ditangan kita. Sanggupkah menggapai ke arah itu?


Oleh: Drs. Sutrisno, M.Sc., Ph.D *

Sumber: www.pendidikan.net

Pendidikan Menengah

1. Sekolah Menengah Pertama



Sekolah Menengah Pertama (disingkat SMP), adalah jenjang pendidikan dasar pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (atau sederajat). Sekolah Menengah Pertama ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari Kelas 7 sampai Kelas 9. Pada tahun ajaran 1994/1995 hingga 2003/2004, sekolah ini pernah disebut Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).





Murid Kelas 9 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Sekolah Menengah Pertama dapat melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan (atau sederajat).





Pelajar Sekolah Menengah Pertama umumnya berusia 13-15 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun.





Sekolah Menengah Pertama diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan Sekolah Menengah Pertama Negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, Sekolah Menengah Pertama Negeri merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan kabupaten/kota.









Madrasah Tsanawiyah (disingkat MTs) adalah jenjang dasar pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Menengah Pertama, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Tsanawiyah ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari Kelas 7 sampai Kelas 9.





Murid Kelas 9 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan MTs dapat melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah atau Sekolah Menengah Atas.





Kurikulum Madrasah Tsanawiyah sama dengan kurikulum Sekolah Menengah Pertama, hanya saja pada MTs terdapat porsi lebih banyak mengenai Pendidikan Agama Islam, misalnya mata pelajaran Bahasa Arab, Al Qur'an-Hadits, Fiqih, Aqidah Akhlaq, dan Sejarah Kebudayaan Islam.





Pelajar Madrasah Tsanawiyah umumnya berusia 13-15 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun.

Sumber : Wikipedia





2. Sekolah Menengah Umum



Sekolah Menengah Atas (disingkat SMA), adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat). Sekolah Menengah Atas ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari Kelas 10 sampai Kelas 12. Pada tahun ajaran 1994/1995 hingga 2003/2004, sekolah ini disebut Sekolah Menengah Umum (SMU).



Pada tahun kedua (yakni Kelas 11), siswa SMA dapat memilih salah satu dari 3 jurusan yang ada, yaitu Sains, Sosial, dan Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni Kelas 12), siswa diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Sekolah Menengah Atas dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau langsung bekerja.



Pelajar Sekolah Menengah Atas umumnya berusia 15-18 tahun. SMA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah - yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun - maskipun sejak tahun 2005 telah mulai diberlakukan program wajib belajar 12 tahun yang mengikut sertakan SMA di beberapa daerah, contohnya Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.[1]



Sekolah Menengah Atas diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan Sekolah Menengah Atas Negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, Sekolah Menengah Atas Negeri merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan kabupaten/kota.



Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formalpendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama/setara SMP/MTs. yang menyelenggarakan



Madrasah Aliyah (disingkat MA) adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Menengah Atas, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Aliyah ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari Kelas 10 sampai Kelas 12.



Pada tahun kedua (yakni Kelas 11), seperti halnya siswa SMA, siswa MA memilih salah satu dari 4 jurusan yang ada, yaitu Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Ilmu-ilmu Keagamaan Islam, dan Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni Kelas 12), siswa diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi Umum atau Perguruan Tinggi Agama (Islam) atau langsung bekerja. MA sebagaimana SMA ada MA umum yang sering dinamakan MA dan MA kejuruan (di SMA disebut SMK) misalnya MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan),dan MAPK (Madrasah Aliyah Program Ketrampilan).



Kurikulum Madrasah Aliyah sama dengan kurikulum Sekolah Menengah Atas, hanya saja pada MA terdapat porsi lebih banyak muatan Pendidikan Agama Islam, yaitu Fiqih, akidah, akhlak, Al Quran, Hadits, Bahasa Arab dan Sejarah Islam (Sejarah Kebudayaan Islam).



Pelajar Madrasah Aliyah umumnya berusia 16-18 tahun. SMA/MA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah, sebagaimana siswa Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun.



Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama/setara SMP/MTs.

Sumber : Wikipedia





Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan



Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).



Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.



Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.



Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.



“Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi” - Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta



Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).



Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.



Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.



Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.



Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.(beritajakarta)



Sumber : dikmentidki.go.id










Pendidikan Dasar






























Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Di akhir masa pendidikan dasar selama 6 (enam) tahun pertama (SD/MI), para siswa harus mengikuti dan lulus dari Ujian Nasional (UN) untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat selanjutnya (SMP/MTs) dengan lama pendidikan 3 (tiga) tahun.









Sekolah Dasar (disingkat SD) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Sekolah Dasar ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari Kelas 1 sampai Kelas 6. Saat ini murid Kelas 6 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Sekolah Dasar dapat melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat).





Pelajar Sekolah Dasar umumnya berusia 7-12 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun.





Sekolah Dasar diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, Sekolah Dasar Negeri berada di bawah Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan di kecamatan.









Budaya









  • Sekolah Dasar negeri di Indonesia umumnya menggunakan seragam putih merah untuk hari hari biasa, seragam coklat untuk pramuka/ hari tertentu, dan pada sekolah-sekolah tertentu menggunakan seragam putih-putih untuk upacara bendera








  • Upacara bendera dilaksanakan setiap hari Senin pagi sebelum dimulai pelajaran




Madrasah Ibtidaiyah (disingkat MI) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Dasar, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari Kelas 1 sampai Kelas 6. Lulusan Madrasah Ibtidaiyah dapat melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama.





Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah sama dengan kurikulum Sekolah Dasar, hanya saja pada MI terdapat porsi lebih banyak mengenai Pendidikan Agama Islam. Selain mengajarkan mata pelajaran sebagaimana Sekolah Dasar, juga ditambah dengan pelajaran-pelajaran seperti:









  1. Alquran Hadits




  2. Aqidah Akhlak




  3. Fiqih




  4. Sejarah Kebudayaan Islam




  5. Bahasa Arab
Sumber : wikipediaindonesia




















My Profile

Sembilan belas tahun yang lalu Aq dilahirkan, tepatnya pada tanggal 2 September 1989. Saat itu, Ayah dan Ibu memberikan sebuah nama yang cantik untuk Quwh yaitu Emi Ardiyanti. Artinya apa ya??? Quwh juga kurang tahu cee. Tapi, Ardi sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya Bumi. Katanya cee itu mengambarkan harapan ortu Quwh supaya ilmu yang Quwh dapat bisa seluas Bumi. He he he, itu cee katanya lhooo.
Aq biasa dipanggil Emi tapi kakak-kakak Quwh memanggilku Cimot. Nggak tahu tuuch artinya apa. Sahabat Quwh malah ada yang memanggilku Emoy atau Cemoy. Ada juga yang memanggil Quwh dengan sebutan Mimot. Tapi kebanyakan Aq dipanggil Ade oleh teman-teman Quwh, mungkin karena sifat Quwh yang masih kekanak-kanakan kali ya. Whatever lha orang-orang mau manggil Quwh apa, itu kan panggilan sayang dari mereka. He he he, (^_^). Lagipula apa cee arti sebuah nama???
Aq terlahir sebagai anak keempat sekaligus anak terakhir di keluarga Quwh. Aq memiliki satu orang kakak laki-laki dan dua orang kakak perempuan. Terlahir sebagai anak terakhir membuat Quwh jadi agak manja. Maklumlah anak bontot gitue.
Aq dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Waktu berumur kurang dari 4 tahun, kata Ortu Quwh Aq sudah minta sekolah. Ada cerita lucunya neeh. Waktu itu karena Playgroup belum ada maka Aq belum bisa masuk TK. Saat itu Ortu Quwh selalu membohongi Aq dengan mengatakan, “TK-nya sudah tutup, De. Besok baru bisa daftar.” Begitu seterusnya sampai umur Quwh 5 tahun. Akhirnya saat itu Aq dimasukkan ke TK Bhakti Siwi di sebuah komplek dekat rumah Quwh. Padahal kakak-kakak Quwh tidak ada yang masuk TK lhoo, semuanya langsung SD. Tapi karena Aq yang begitu kepengennya sekolah dan umur belum mencukupi untuk masuk SD maka Aq pun masuk TK.
Setelah TK, Aq dimasukkan ke SD Negeri Sunter Jaya 05 oleh Ortu Quwh. Banyak hal yang terjadi di SD. Ya ampyun, gimana yah kabar teman-teman SD Quwh??? Udah lost contact neeh… Jadi pengen tahu sekarang mereka kayak gimana. He he he, kuq Aq malah curhat yah??? Sudahlah kembali lagi ke topik awal. Prestasi akademik Quwh di SD biasa-biasa saja tapi itu Cuma sampe kelas 2 duankz. Selanjutnya kelas 3 sampai 6 Aq selalu mendapat ranking lima besar.
Aq lulus dari SD dengan nilai yang memuaskan. Kemudian Aq melanjutkan sekolah Quwh ke SMP Negeri 152 Jakarta. SMP Quwh ini berada tidak jauh dari SD Quwh Cuma dipisahkan oleh sebuah jalan. Karena nilai Ujian Quwh yang lumayan bagus alhasil Aq dimasukkan ke kelas unggulan di SMP. Masuk kelas unggulan prestasi Quwh masih tetap OK. Walaupun bergeser jadi rangking sepuluh besar. Maklumlah, banyak saingan euy. Selanjutnya kelas 2 dan 3 Aq juga masuk kelas unggulan. Tidak banyak yang terjadi di SMP tapi yang pasti jadi tambah banyak teman.
Sejak SD Aq mempunyai 2 sahabat karib. Kami selalu bersama hingga SMP. Tapi sayangnya saat SMA kami berpisah. Karena Aq masuk SMA Negeri 5 Jakarta sedangkan mereka berdua masuk SMK Negeri 3 Jakarta. Hiks hiks, (T_T) Aq sendirian. Tapi masih ada sahabat Aq yang lain kuq.
Di SMA Aq kebagiab kelas X-A, yang nantinya akan jadi kelas paling ancuuurr se-SMA 5. Kenapa Aq bilang begitu??? Itu semua ada alasannya. Tiap bulan, di kelas X-A pasti ada yang dikeluarkan dari sekolah. Pokoknya banyak masalah yang terjadi di situ deh. Mulai dari uang ilang, guru pada males ngajar saking kesel sama anak-anaknya, sampai isu-isu aneh gitu (yang ini disensor). Akhirnya prestasi Quwh juga terkena dampak, di 1-2 pelajaran nilai Quwh merosot. Tapi Aq masih berprestasi karena nilai-nilai Quwh yang lain jauh diatas SKBM (standar ketuntasan belajar minimal).
Pada saat kenaikan ke kelas XI oleh guru Quwh Aq disarankan masuk jurusan IPA karena nilai-nilai pelajaran IPA Quwh bagus-bagus. Tapi karena Aq tidak berminat akhirnya Aq memilih jurusan IPS. Saat kelas XI prestasi Quwh kembali naik, boleh dibilang Aq juara kelas. Nilai semua mata pelajaran Quwh selalu jauh diatas SKBM. Saat itu Aq mulai jadi anak kesayangan guru-guru Quwh. Hingga Aq menjadi wakil dari sekolah Quwh untuk jadi peserta Olimpiade Ekonomi se-SMA di Jakarta.
Pada saat kelas XII nilai Quwh juga masih selalu jauh diatas rata-rata. Sampai-sampai setiap guru bertanya dan tidak ada yang bisa menjawab selalu Aq yang ditunjuk untuk menjawab. Enak juga sih jadi begitu, karena semua guru jadi kenal sama Aq. Saat mendekati ujian nasional teman-teman Quwh sering mengadakan belajar bersama, di situ Aq pun menjadi guru mereka. Mereka sering berkonsultasi masalah pelajaran dengan Quwh.
Saat kelulusan Aq mendapatkan nilai tertinggi di SMA Quwh untuk jurusan IPS. Kemudian tanpa sepengetahuan Quwh saat wisuda Aq dinobatkan menjadi siswi terbaik IPS di SMA 5. Pada saat itu Aq sangat bahagia karena sudah bisa membuat bangga Ortu Quwh yang hadir di acara wisuda. Kebahagiaan Quwh bertambah ketika mendapati bahwa Aq diterima PMDK di Universitas Negeri Jakarta. Hingga saat ini Aq masih menjalani studi Quwh di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta. Dengan indeks prestasi yang insya Alloh selalu di atas 3.
“Thanks to Alloh, tanpa Rahmat dan Anugerah-Mu Aq bukanlah siapa-siapa. Thanks to my parents too, yang udah tulus mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang dalam membesarkan Quwh. Juga pada kakak-kakak Quwh yang selalu menjaga dan membimbing Quwh. I love u all.”