Kamis, 26 Februari 2009

Kesiapan PT Menyongsong PP Dosen

Isu strategis otonomi perguruan tinggi (PT) yang digulirkan oleh paradigma baru pendidikan tinggi membawa konsekuensi pergeseran yang substansial dalam penataan kelembagaan. Reformasi pengelolaan internal dan tuntutan globalisasi PT dalam menata kelembagaan merupakan suatu keharusan. Kenyataan menunjukkan bahwa segudang persoalan PT saat ini masih perlu mendapatkan perhatian yang serius terutama dalam menghadapi diberlakukannya peraturan pemerintah tentang dosen.


Itulah tema diskusi menarik yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan, Depdiknas yang dihadiri oleh para rektor PTN dan beberapa pimpinan PTS beberapa hari yang lalu dalam rangka uji publik RPP dosen. Paparan secara substantif RPP dosen secara gambang disampaikan oleh direktur jenderal pendidikan tinggi Prof. Dr. Ir. Satryo Soemantri Brodjonegoro, sekaligus mengajak pimpinan PT untuk bersama-sama mengantisipasi kesiapannya dalam menyambut lahirnya PP dosen dimaksud.


Ada persoalan yang mengemuka akhir-akhir ini yang dihadapi sekaligus sebagai cerminan kondisi riil PT kita. Pertama, input mahasiswa yang cenderung tingkat kompetisinya menurun ditilik dari rasio jumlah pendaftar dengan yang diterima sebagai mahasiswa. Bahkan nilai ambang kelulusannya pun diturunkan dan hanya program studi favorit saja yang tingkat kompetisinya agak lumayan, misalnya program studi teknologi informasi, kedokteran dan psikologi.


Kedua, perubahan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang telah digulirkan belum sepenuhnya diindahkan oleh para pengelola PT, bahkan juga masih adanya miskonsepsi tentang pemahaman KBK. Kenyataan ini diperparah oleh kondisi kurang relevan kompetensi lulusan dengan tuntutan kerja. Dalam tataran lokal, kecenderungan pencari kerja meningkat sangat tajam di setiap kabupaten dan kota dalam propinsi Jambi. Tidak kurang dari 93 ribu pencari kerja membutuhkan lapangan kerja (Jambi Ekspres, 2/06/2007).


Ketiga, dari sekitar 300 ribu dosen yang ada, kualifikasinya masih memprihatinkan. Rasio dosen yang berkualifikasi S2, S3 dan jumlah guru besar (Profesor) belum sebanding dengan jumlah mahasiswa dan penyebaran bidang ilmunya belum merata. Bahkan, dapat diindikasikan bahwa dosen kita produktifitasnya rendah dalam kegiatan tri dharma PT terutama dalam kegiatan penelitian. Kondisi ini diperparah oleh infrastruktur sebagai penunjang pembelajaran berbasis TIK dan piranti lunak belum sepenuhnya memadai. Padahal TIK sebagai sarana untuk menumbuhkan iklim akademik serta meng-update model pembelajaran yang dikembangkan oleh dosen.


Keempat, program studi belum semuanya terakreditasi oleh BAN-PT dan belum banyak prodi yang memiliki akreditasi A. Adanya kecenderungan pergeseran penyelenggaraan pendidikan tinggi tak ubahnya menjadi lembaga kursus berkembang akhir-akhir ini. Kondisi ini disinyalir karena penjaminan mutu belum sepenuhnya dilaksanakan secara konsisten. Dalam tataran teknis rencana strategis, peraturan akademik serta prosedur standar operasi (SOP) dimaknai sebatas sebagai dokumen pelengkap borang akreditasi saja dan belum sepenuhnya dijadikan kerangka acuan kerja.


Dari potret itulah kiranya, reformasi manajemen internal PT tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tuntutan yang mengemuka bagi pimpinan PT setidaknya menerapkan manajemen PT yang aplicable, diharapkan dapat menghasilkan keefektifan siklus mutu yang telah ditetapkan dan dilaksanakan secara utuh untuk mencapai sasaran mutu manajemen dan target mutu yang terukur. Dengan demikian membuka peran dari berbagai komponen pendidikan terutama memungkinkan seluruh stakeholders berkontribusi secara maksimal untuk mencapai tujuan dan kredibilitas PT.


Untuk menggapai ke arah itu setidaknya ada dua model kinerja manajemen yang dapat dijadikan pertimbangan dasar dalam mengembangkan PT. Pertama, kinerja institusi internal yakni menumbuhkan budaya dan kualitas institusi, moral, norma, institutional self perception. Kedua, faktor eksternal yang menyangkut persepsi atas kinerja, reputasi dalam kualitas, (quality award, acreditation, institutional awards) yang secara gambang diuraikan oleh Horald Perkin (2006), dalam bukunya yang bertajuk International Handbook of Higher Education.


Dalam tataran teknis, selaras dengan itu ada beberapa model organisasi yang berkembang dewasa ini, diantaranya model birokratik (prosedural, kekuasaan tersentraslisasi, efisiensi rendah dan mudah dimobilisasi), autokratik (misi spesifik, fokus, disiplin tinggi, kompak, efisiensi tinggi, ketergantungan tinggi, inovasi dan kreatifitas tidak mudah). Collegial (inovatif dan kreatif, keputusan oleh komite, lamban dan konservatif) contohnya universitas. Corpotate (efisien, responsif, dinamis, ketergantungan pada pimpinan tinggi, inovasi dan kreatifitas di tingkat bawah tidak mudah, profit motif (industri).


Untuk memilih model yang sesuai dengan PT hendaknya diterapkan Good University Governance (GUG), karena tidak semua model TQM industri mudah diterapkan di PT, harus mampu menumbuhkan kreativitas dan inovasi dengan target mutu produk, harus dipacu secara proporsional sesuai dengan kearifan budaya lokal. Prinsip dasar GUG kredibelitas (kualitas pejabat) sangat menentukan, faktanya pimpinan PT adalah dosen yang perlu diasah integritas, kepemimpinan dan kapasitas manajerialnya. Kebenaran dan objektifitas (transparansi), menepati janji dan tanggung jawab (accountability and responsibility) dan adil (fairness) menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola PT.


Konsekuensi PT versus diberlakukan PP dosen


Anggaran pemerintah terutama pendidikan tinggi akan bergeser dari yang semula investasi infrastruktur ke penggajian dosen akibat munculnya berbagai tunjangan bagi dosen. Padahal, pekerjaan rumah bagi PT masih banyak dalam rangka menata kesiapan akan diberlakukannya PP dosen tersebut.


Pekerjaan yang amat berat bagi pengelola PT dalam meningkatkan kualifikasi dosen PT, apabila PP tersebut diberlakukan adalah PT dituntut untuk memacu peningkatan kualifikasi dosen yang belum S-2 dan S-3. Sementara itu, beasiswa bagi dosen dari pemerintah pusat belumlah memadai sehingga mencari sumber beasiswa dari pemerintah daerah atau sumber-sumber lain yang relevan sebagai alternatif sangatlah dibutuhkan. Di sisi lain, mendorong dosen yang sudah berkualifikasi S-3 untuk mencapai kualifikasi guru besar merupakan tantangan tersendiri yang tidak kalah peliknya. Mendorong, memfasilitasi dan meningkatkan produktifitas, inovasi dan kreatifitas dosen yang berkualifikasi S-3 dalam mengemban tri dharma PT dengan berbagai kendala yang ada, juga menjadi persoalan ke arah itu.


Sebagai upaya untuk mengembangkan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial dosen diwajibkan untuk mengikuti sertifikasi. Model penilaian yang akan dikembangkan adalah model portofolio yang dilaksanakan oleh PT terakreditasi. PT yang diberi kewenangan untuk itu, paling kurang memiliki program studi dengan akreditasi B. Berdasarkan data dari Badan Akreditasi Nasional PT (BAN-PT), belum semua program studi yang terakreditasi B. Jumlah program studi yang terakreditasi B berkisar 30% dan 50% terakreditasi C.


Merujuk pada RPP dosen pasal 8, proses sertifikasi dosen yang akan diberlakukan hendaknya dilakukan secara objektif, transparan dan akuntabel meliputi masukan, proses dan hasil dan hendaknya dilakukan pula tidak diskriminatif yang tentunya memenuhi Standar Nasional Pendidikan yang telah ditetapkan. Yang pada gilirannya proses sertifikasi dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan pendidikan secara administratif, finansial dan akademik.


Sebagai konsekuensi kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi dosen adalah mendapatkan hak berupa tunjangan yang memadai. Tunjangan dimaksud terdiri dari tunjangan profesi, fungsional dan subsidi tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, kesetaraan tunjangan dan maslahat tambahan. Persyaratannyapun juga tidak gampang. Untuk mendapatkan tunjangan profesi misalnya, dosen harus memenuhi persyaratan akademik seperti yang diamanatkan oleh UU No. 14 tahun 2005, beban kerja tri dharma PT yang mencukupi, persyaratan administrasi lainnya serta memiliki sertifikat pendidik yang terdaftar di departemen pendidikan nasional. Tidak kalah pentingnya adalah kemampuan dalam bidang keahlian khusus juga dijadikan persyaratan yang secara jelas termaktup dalam RPP pada pasal 10 ayat 5 point a.


Yang lebih menarik dari sekian banyak tunjangan yang akan diberikan kepada dosen adalah tunjangan kehormatan. Dosen yang pantas dan berhak untuk mendapatkan tunjangan ini hanyalah dosen yang berpredikat dan menyandang jabatan guru besar. Nilai nominalnya sebesar dua kali lipat gaji pokok guru besar. Padahal, bila merujuk UU No 14 tahun 2005 dalam pasal 48 ayat 3 untuk memangku jabatan guru besar tidaklah mudah, yakni harus berkualifikasi doktor (S-3).


Sementara itu, Dirjen Dikti melalui surat edaran No:1785/D/C/2006 tertanggal 29 Mei 2006 telah menutup pintu rapat-rapat bagi dosen yang memiliki kualifikisasi non S-3 untuk mengusulkan jabatan guru besar. Masa transisi yang diberikan untuk mengusulkan jabatan guru besar yang berpendidikan non-S-3 telah berakhir bulan Desember 2006 yang lalu. Konsekuensinya, tidak ada jalan lain kecuali dosen harus studi lanjut bila menginginkan jabatan yang bergengsi dan tertinggi sebagai karier dosen. Tentunya, kebijakan ini akan menyulitkan PT untuk meningkatkan kualifikasi dosen.


Dalam konteks aneka tunjangan yang akan diberikan kepada dosen PT, kendala yang dihadapi disamping kualifikasi juga menumbuhkan kreatifitas, inovatif dan berjiwa korporatif bagi dosen tidaklah mudah. Padahal, untuk menggapai ke arah itu, dibutuhkan iklim akademik yang kondusif, organisasi yang sehat, otonomi yang kuat serta komitmen yang memadai.


Angin segar juga akan diberikan kepada dosen yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, memiliki karya inovatif yang diakui dalam skala lokal, nasional maupun internasional, membimbing mahasiswa dalam berbagai perlombaan yang bersifat akademik serta kinerjanya melampau target kinerja yang ditetapkan dalam satuan pendidikan tinggi merupakan barometer untuk mendapatkan penghargaan ini. Disamping itu, promosi kepangkatan juga akan diberikan bila dosen memiliki prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Pemberian akses yang seluas-luasnya kepada dosen dalam rangka mengembangkan profesionalismenya menjadi tantangan tersendiri. Misalnya, perlindungan dalam melaksanakan tugas, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), pemanfaatan sarana dan prasarana pembelajaran, kebebasan berorganisasi profesi, peningkatan kompetensi serta kebebasan akademik dalam konteks keilmuan.


Pada akhirnya, kesiapan kita untuk menjadi PT yang berkualitas, memiliki daya saing, dan bermartabat untuk menyongsong datangnya PP Dosen ada ditangan kita. Sanggupkah menggapai ke arah itu?


Oleh: Drs. Sutrisno, M.Sc., Ph.D *

Sumber: www.pendidikan.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar