Sabtu, 23 Mei 2009

Berdayakan Pendidikan Nonformal

PENDIDIKAN nonformal menjadi salah satu upaya mendongkrak partisipasi anak berlatar keluarga miskin dalam dunia pendidikan. Pengamat pendidikan Undiksha Singaraja, Dr. I Gede Budasi, M.Ed menilai, perlunya sistem yang komperhensif, terpadu, dan berkesinambungan dalam proses pemberdayaan partisipasi pendidikan anak berlatar keluarga miskin di Buleleng khususnya. Ia menekankan pentingnya itu dilakukan melalui jalur pendidikan nonformal. “Realisasinya dapat diterapkan melalui kerja sama pemerintah dan swasta, baik yayasan pendidikan, lembaga pendidikan, maupun bursa tenaga kerja di dalam maupun luar negeri,” kata staf pengajar Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha Singaraja ini. Meski Singaraja sebagai kota pelajar, Budasi menilai, banyak anak tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jalur pendidikan nonformal belum sepenuhnya dimanfaatkan masyarakat, meski kondisi perekonomian mereka kurang mampu. “Masyarakat masih malu menyekolahkan anak di lembaga pendidikan nonformal. Padahal, selain menghabiskan sedikit biaya, lulusannya juga dibekali keterampilan dalam waktu singkat. Kurikulumnya juga disesuaikan dengan apa yang diperlukan dunia usaha,” kata pria kelahiran tahun 1958 ini. Menjamurnya lembaga pendidikan nonformal di masyarakat dinilai bukan masalah serius. “Asal jangan memberikan janji palsu kepada masyarakat bahwa lulusannya siap kerja. Pemerintah perlu memberikan pembinaan rutin, termasuk menyasar agen kerja baik di dalam maupun luar negeri,” tambah Budasi. Lembaga pendidikan nonformal diharapkan melakukan langkah yang sama. Mereka dianjurkan membaca peluang pasar industri dan menyesuaikan dengan kurikulum yang berlaku. “Ini agar lulusannya dapat diterima dalam dunia industri,” ungkap alumnus UGM tahun 2007 itu. Studi banding penyelenggara pendidikan diharapkan melalui pendekatan need analysis dan SWOT analysis dioptimalkan. Pendidikan maupun keterampilan dirancang sesuai kebutuhan industri, bukan need of teacher. Akademisi dan praktisi bersinergi dengan pemerintah melalui job training. Out put-nya disalurkan ke dunia industri. “Namun, praktiknya, selama ini ada kelemahannya. Lulusannya terus dicetak tanpa melihat kebutuhan dunia industri. Punya ijazah komputer ternyata tak bisa diterima perusahaan. Banyak anak cerdas, tetapi sering gagal. Perlu komunikasi lintas budaya,” kata Budasi. Hal senada diungkap Drs. I Gusti Ngurah Agung, Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng. Ngurah Agung menilai, pendidikan nonformal strategis untuk memenuhi kebutuhan dunia industri. Kurikulum pendidikan nonformal fleksibel dan mengikuti perkembangan masyarakat. “Pendidikan nonformal juga merupakan upaya mengentaskan masyarakat buta aksara. Ini dilakukan melalui keterampilan, mengisi kekurangan dengan life skill,” katanya. Pemerintah diharapkan memberikan porsi perhatian berimbang, baik untuk pendidikan formal maupun nonformal. Perhatian tersebut berupa adanya bantuan biaya maupun tenaga pengajar guna meningkatkan kualitas pendidikan. Ngurah Agung juga menyoroti aktivitas sanggar kegiatan belajar (SKB) di Buleleng. SKB Buleleng cenderung mengarah pada pendidikan formal seperti sekolah menengah atas. “Perlu reorientasi agar disesuaikan dengan jati dirinya. Banyak peluang keterampilan yang dibutuhkan masyarakat,” katanya. —put


Tidak ada komentar:

Posting Komentar