Rabu, 27 Mei 2009

Pergeseran makna ABK

Adanya pergeseran istilah anak cacat menjadi anak berkebutuhan khusus (ABK), tidaklah hampa akan tujuan tetapi ini sarat dengan makna dan cita-cita mulia. Pergeseran istilah anak cacat menjadi anak berkebutuhan khusus bukan berarti kondisi kecacatan atau kelainannya hilang atau berkurang sama sekali. Pergeseran istilah tersebut sesungguhnya lebih memberikan api semangat bagi para penyandang cacat untuk berkarya sebagai insan manusia dan untuk terus berprestasi sesuai dengan potensi dan kemampuannya. Penekanan istilah anak berkebutuhan khusus adalah lebih menekankan akan masih ada dan banyaknya potensi yang dimiliki oleh mereka, para individu berkebutuhan khusus pada dasarnya masih memungkinkan untuk dapat dibina dan dikembangkan secara optimal. Jauh dibalik yang tersurat itu, pergeseran istilah cacat atau berkelainan menjadi anak berkebutuhan khusus merupakan suatu proses panjang dari dibiarkannya anak cacat sebagai aib atau tontonan, kemudian mendapatkan layanan sebagaimana sejarah layanan untuk mereka.

Dalam konteks layanan untuk anak berkebutuhan khusus, bagi kita tidaklah asing bahwa anak berkelainan yang dulunya dibiarkan begitu saja lambat laun mendapatkan layanan. Begitu pula jenis kelainannya semakin lama semakin banyak dikenali macam dan jenisnya. -Bahkan Direktorat PSLB- menyebutnya dari A-O. Di sisi yang lain, dalam pemahaman keilmuan bidang pendidikan khusus dari perpektif kebutuhan kekhususannya maka ABK dibedakan menjadi empat. Sekedar mengikatkan kembali dalam pikiran kita, bahwa bentuk-bentuk layanan pendidikan khusus dimaksud adalah: 1. Anak dengan Hambatan Komunikasi, Interaksi dan Bahasa (HKIB), 2. Anak dengan Hambatan Persepsi, Motorik dan Mobilitas (HPMM), 3. Anak dengan Hambatan Emosi dan Perilaku (HEP), dan 4. Anak dengan Hambatan Kecerdasan dan Akademik (HKA). Dimana dari keempat kelompok sasaran tersebut, dalam kehidupan sehari-hari kita kenal dengan istilah seperti tunanetra, tunarungu wicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, tunaganda, dan gifted talented, dsb. Begitu pula jenjang atau tingkatan pendidikan untuk mereka berada pada tingkat TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMLB untuk sekolah luar biasa ataupun sekolah reguler untuk program-program inklusi.
Selanjutnya dalam layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, telah dikenal adanya piramida layanan dari yang berat sampai yang ringan. Dimana dalam piramida layanan tersebut, anak berkebutuhan khusus yang berat ditangani di panti atau di rumah sakit sedangkan yang tingkat kelainannya ringan maka dimungkinkan mengikuti pendidikan di sekolah umum. Dalam konteks layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus ini, akhirnya dikenal istilah segregasi, pendidikan terpadu, dan saat ini trend dengan istilah pendidikan inklusi. Terlepas dari kelebihan kekurangannya masing-masing, pendidikan terpadu, begitu hangat dibicarakan pada tahun 80an dan akhirnya terhenti begitu saja. Lalu muncul satu pertanyaan, bagaimanakah kita akan mengusung pendidikan inklusi ini di Indonesia, apakah pendidikan inklusi juga hanya akan “sebatas” demikian. Inilah tantangan dan juga sekaligus tuntutan untuk kita para pengkaji dan pemerhati pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Dari paparan di atas, maka ada tiga misi utama untuk dibicarakan dalam konteks kelimuan atau akademik. Kita perlu mengkaji dan akhirnya mengimplementasi tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus tersebut yang sebaiknya. Untuk itu pergeseran istilah anak berkebutuhan khusus ini harus diikuti dengan satu pemahaman yang bulat, utuh dan se-visi antar sesama pengkaji dan pemerhati anak berkebutuhan khusus ini. Begitu pula antara jenis kelainan yang ada dengan perspektif kebutuhan anak berkebutuhan khusus, tentu memerlukan pengkajian dan matriks keahlian yang jelas dan tegas dalam pengembangan keilmuan, artinya penguatan manajemen ke dalam menjadi hal yang sangat penting. Adapun yang terakhir adalah masalah inklusi, bagaimana pengelolaan inklusi ini agar dapat terlaksana dengan baik disamping adanya isu-isu lainnya. Untuk itulahlah, perlu kiranya kita gali filosofi dan kita bangun pilar-pilar keilmuan, jejaring dan kerjasama dalam memperkokoh keilmuan pendidikan khusus di Indonesia bahkan dunia.

Oleh: Hermanto Supriyanto

Sumber: blog.uny.ac.id/hermantosupriyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar