Jumat, 22 Mei 2009

IAIN Dalam Dilematis Perguruan Tinggi Islam

Perubahan status Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Mataram menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram membawa angin segar bagi sebagaian mahasiswa, dan ada harapan bagi upaya perubahan dalam bingkai pendidikan Tinggi Agama di Nusa Tenggara Barat. Perubahan besar yang penulis maksud adalah bisa munculnya berbagai bidang-bidang keilmuan kajian ke-Islam-an maupun kajian-kajian umum, baik sosoial ataupun humaniora.

Namun perubahan nama dan status tersebut bisa jadi tidak ada pengaruhnya jika dalam komunitas lembaga tinggi tersebut, pihak managemen kampus tidak dapat secara optimal dan maksiamal melakukan pembenahan dan perubahan bagi kemajuan lembaga tersebut.

Kekhawatiran-kehawatiran tersebut bisa saja muncul dalam pikiran semua orang, dengan melihat realitas by empiric keberadaan beberapa Perguruan Tinggi Islam, hampir tidak dapat menunjukkan eksisitensinya di tengah masyarakat, jika dibandingkan dengan perguruan tinggi lainnya, dan keadaan ini bukan saja terjadi di Nusa Tenggara Barat, namun di perguruan Tinggi Islam lainnya di indonesia juga mengalami stagnasi keilmuan dan orientasi.

Ada satu dilema dan menjadi kekhawatiran semua fihak dengan beralihnya status tersebut di dalam internal lemabaga di bawah Departemen Agama ini, yakni dengan peralihan status tersebut akan menjadi bumerang bagi jurusan ataupun fakultas-fakultas konvensional agama yang ada selama ini, seperti fakultas/jurusan Tarbiyah/Pendidikan Agama Islam, Fakultas Dakwah/ KPI, dan Syari'ah. Menjadi bumerang dengan artian bahwa akan memungkinkan banyaknya jurusan-jurausan baru yang lebih baru dan up-to-date. Yang kemungkinan jurusan-jurusan baru ini akan lebih banyak diminati oleh mahasiswa-mahasiswa baru, ketimbang jurusan-jurusan agama umumnya, atau bahkan sebaliknya pengelolaan bebrapa fakultas/jurusan yang sudah ada saja hampir tidak maksimal dan oftimal dalam managemen, baik dari segi kurikulum, mutu, media pembelajaran, sarana prasarana atau bahkan fasilitas. Kemungkinan-kemungkinan ini bisa saja terjadi, jika para pengambil kebijakan tidak sigap, jika ini dibiarkan maka keberadaan jurusan atau program studi baru sama artinya dengan pemborosan dan tidak ada nilai lebih bagi perubahan STAIN ke IAIN.

Jika prediksi ini benar-benar terjadi, maka konsekwensinya adalah "chaost" dalam tubuh Institut agama Islam Negeri (IAIN) Mataram dan akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat pengguna pendidikan, dan pemerintah sebagai konsumen dari produk lembaga pendidikan tinggi, ini terbukti dalm perekrutan tenaga pendidikan atau kantor tiap tahunnya, pihak Departemen Pendidikan Nasional telah memandang sebelah mata para alumni sarjana jebolan Depag, dengan demikian hampir dapt dipastikan out-put lembaga tersebut mau tidak mau hanya Departemen Agama-lah yang siap menampungnya, sungguh sangat ironis !!!.

Dan di satu sisi keberadaan jurusan atau program studi baru tersebut dapat menimbulkan superior dan inferior, seperti pada Fakultas Dakwah sekarang ini. Padahal jika kita mencoba untuk analisis sejarah terbentuknya IAIN di Indonesia adalah dimaksudkan sebagai pelopor dan pusat kajian ke-Islaman di tanah air. Maka lagi sekali kalau ini terjadi maka menjadi ironis -lah dan dilematislah Perguruan Tinggi Islam kita.

Banyak hal yang menarik dan bisa kita angkat dengan eksisitensi Lembaga Tinggi Islam di NTB ini, makin hari mendapat sorotan dari berabagai fihak di tengah masyarakat NTB khususnya. Di satu sisi IAIN sering di harap banyak oleh mansyarakat sebagai Lembaga Pendidikan Islam yang diharapkan mampu menjadi benteng moralitas masyarakat. Namun apakah harapan masyarakat ini, IAIN sebagai lembaga pendidikan Islam mampu menjawabnya ? penulis mengatakan jawabanannya adalah PESIMIS !!!. Karena banyak karakter dan sifat sebagaian oknum mahsiswa dan civitas akademik yang tidak sesuai dengan atruran-aturan almamater perguruan tinggi Islam, Silahkan dibuktikan....!!

Di sisi lain, masyarakat telah memandang bahwa pendidikan tinggi Islam, baik STAIN,IAIN, dan UIN adalah lembaga pendidikan tinggi kelas dua (second class). Anggapan ini ada benarnya, karena lembaga yang di bawahi Departemen Agama (DEPAG) adalah lembaga termiskin dalam anggaran, belum lagi anggapan masyarakat tentang para mahasiswa IAIN adalah para migran dari desa-desa, yang dijadikan sebagai lembaga buangan, adalah mereka-mereka yang tidak diteima di perguruan tinggi umum lainnya, belum lagi berbicara tentang prestasi akademik mahasiswa, atau prestasi para dosen. Kalupun lembaga ini banyak di kenal di tengah masyarakat, bukan karena prestasi dan prestise yang dilahirkan, namun tidak lebih dari sering dan intensnya para aktifis kampus melakukan aksi-aksi turun ke lapangan.

Dengan melihat beberapa persoalan-persoalan yang dihadapai perguruan tinggi Islam di tanah air, kemudian yang menjadi pertanyaan adalah : kebanggaan apa yang dirasakan oleh mahasiswa kalau karakter lembaga pendidikan tinggi seperti ini?. Kalau kita meneropong sejarah IAIN zaman dahulu, peran dan posisi IAIN telah berubah posisi, yang semula dijadikan sebagai pusat kajian dan studi Islam, ini dapat kita lihat dari peran dan fungsi para alumni-alumninya. Sedangkan sekarang para civitas akademik tidak tau ke arah mana output-nya. Dan yang lebih ekstrim lagi, sebagaian oknum mahsiswa "hampir" tidak mengerti dengan basic keilmuannya, dan bahkan mereka tidak percaya diri (pede) dengan almamaternya, sungguh luar biasa.

Persoalan-persolan ini, membutuhkan pemikiran kita bersama untuk menjadikan lembaga ini kembalai ke khithah-nya. Penulis mengasumsikan seolah-olah IAIN ingin menyamakan dirinya dalam dengan pendidikan tinggi umum lainnya, dengan sedikit demi sedikit mengubah peran, baik dalam cara fikir para civitas hingga kurikulum, padahal lembaga tinggi Islam haruslah tetap memegang ciri khas-nya dan karakternya.

Dibuktikan dengan beberapa perguruasn tinggi lainnya yang telah berubah nama dan statusnya, seperti IAIN yogyakarta ke Universitas Islam negeri (UIN) Sunan kalijaga, telah menambaha jurusan-jurusan umum baru, dan konsekwensinya adalah secara tidak langsung akan kehilangan identitas-identitasnya, walaupun dalam satu atap, namun kembali kekhawatiran muncul kembalai, yakni managemen perguruan tinngi di bawah Depag dalam kinerjanya tidak seperti di bawah Depdiknas. padahal dari awal keberadaan perguruan tinggi islam hampir kehilangan arah dan jejaknya.

Kita masih ingat dengan didirikannya IAIN 52 tahun yang lalu, diharapakan menjadi pusat kajian dan peradaban islam di tanah air. Artinya jangan sampai apa yang pernah dicetuskan oleh Abdulrahman Wahid ( Gusdur) dalam bukunya muslim ti tengah pergumulan terbantahakan. Gusdue berpendapat " Indonesia akan menjadi pelopor kebangkitan islam". Jangan sampai ramalan tersebut terbantahakan dengan realitas keindonesiaan. Dan ramalan tersebut bisa jadi terbantah dengan tidak adnaya peran yang begitu signifikan perguruan tinggi islam kita, ini dapat kita lihat dalam praktek keseharian para civitas akademik serta mahasiswanya, yang kurang memahami islam-nya sendiri.

IAIN Mataram ke depan kayaknya masih mengalami kendala yang sukup besar dalam hal ini sebagai pelopor dan penggerak dalam pemikiran dan pendidikan islam. Hal ini juga mendapat resfon dari Deliar Noor dalam bukunya pendidikan Islam di Indonesia. Ia berpendapat bahwa IAIN mempunyai peranan yang cukup besar dalam mengembangkan pemikiran keislaman, namun ia sangat khawatir dengan kemampuan IAIN untuk mengembangkan hal tersebut. Sebab bukan hal yang mudah untuk menjadikan IAIN sebagai pusat kajian Islam di tanah air.

Sebenarnya banyak harapan dan pekerjaan yang mesti di emban oleh IAIN Mataram ke depan, namun harapan-harapan tersebut tidak akan pernah terlaksanakan, jika dikaitkan dengan kondisi realitas di lapangan. Ketika atatus STAIN masih di pegang persoalan-persoalan ddi internal lemabaga tidak pernah pupus dari ahri ke hari, para civitas akademik lebih mengutamakan mengejar posisi dan kedudukan ketimbang memikirkan bagaiman untuk kemajuan dan kebaikan pendidikan. Tidak adanya suasana akademik dalam lingkungan kampus, para dosen lebih disibukkan dengan kepentingan-kepentingan kelompok dan kegiatan luar, entah iti bisnis dan lainnya, sedangkan tugas utama mengajar seolah-olah terabaikan, jelas keadaaan ini memperparah IAIIn sekarang dan akan merugikan para mahasiswanya.

Para dosen tidak lebih sebagai upaya pentransferan ilmu semata kepada peserta didik dan belum lagi kalau berbicara kualifikasi keilmuan para dosen pemangku mata kuliah. Yang dilakukan hanyalah bagaiman hanya sekedar mengisi saja tampa melihat jurusan dan sfesialisasi keilmuan, ini juga yang rugi adalah mahasiswa sendiri.

Untuk menjadikan IAIN Mataram sebagai pusat kajian dan diskusi Islam di NTB, serta IAIN ke depan dapat dijadika salah satu alternatif perguruan tinggi dengan visi dan misi yang berorientasi pada pengembangan ilmu dan pengetahuan, dan bukan semata pada pencapaian keridaaan Ilahi an-sich semata.

Untuk itu ada beberapa harapan lagi, jika IAIN sekarang tidak lagi di anggap mandul dalam komuniotas pendidikan tinggi, jika perubahan statusa dan posisi tidak diimbangi dengan perubahan kultur,organisasi, manajemen,dan revolusi pembelajaran, maka IAIN ke depan tidak lebih sebgai lembaga formal yang tidak ada nilai kualifikasinya dalam berkompetisi dengan kehidupan global.

Untuk menjadikan IAIN sebagai perguruan tinggi islam yang diperhitungkan, maka haruslah ditopang dengan kualitas akadeik yang baik, ini dapat di bangun oleh pimpinan, para dosen dan karyawan serta mahasiswa. Dalam hal ini ada minimal ada tiga faktor yang harus segera di bangun dan follow-up, yakni pertama memabangun harmonisasi dan ukuwah di internal civitas akademik, dengan menerima perbedaan-perbedaan pendapat, ras, suku hingga ideologi, serta tidak saling mencurigai dan saling menghargai. Kedua meningkatkan kualitas dan kapabilitas tenaga pengajar, lewat diskusi ilmiah, penelitian dosen serta didskusi-dikusi intensif harus tetap di bangun. Ketiga Penyediaan pasilitas perpustakaan yang lengkap.

Apabila ketiga faktor tersebut berjalan baik dan menunjukkan kulaitas, maka insyaallah IAIN akan mampu menjadikan dirinya sebagi perguruan tinggi yang baik dan berkualitas dan diharapkan mampu menjdi pusat kajian dan peradaban islam di Nusa Tenggara Barat (NTB). Semoga bermanfaat Wassalam.

Penulis adalah Mantan Ketua BEM F. Tarbiyah, sekarang mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) 2004.

Penulis: Chairil Anwar,S.Pd.I
Mahasiswa di Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

sumber: pendidikan.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar