Jumat, 22 Mei 2009

BHP dan Daya Jual PT

Hingar bingar UU Badan Hukum Pendidikan memadati pikiran dan tenaga sebagian orang, baik para perancang UU BHP ataupun penolakan beberapa orang atau sekelompok orang. Jelas, menguras tenaga, pikiran serta finansial ketika UU BHP ini disahkan nantinya. Para perancang sibuk merumuskan sedangkan para pemerhati sibuk menolak.

Problem pendidikan seolah seperti permen karet yang tak pernah habis dikunyah. Pernak-pernik kerunyamannya kian menghiasi wajah pendidikan yang terus menampakkan kemuraman rautnya.

Ranah edukasi memang tak bosan-bosannya mengalami keresahan, baik dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Khususnya di pendidikan tinggi (PT), di wadah inilah para calon pengganti pemimpin bangsa (intelektual-intelektual muda) akan berkembang dan berkarya. Lepas dari baju siswa ke posisi yang lebih tinggi membuat mereka harus bekerja keras dengan adaptasi dan beraksi. Adaptasi pemikiran, sikap dan perilaku harus disertai tindakan (aksi) cermin mahasiswa.

UU BHP sedang menjadi hot news. Tak dipungkiri, kecemasan pun tengah menghimpit paru-paru dunia PT Indonesia. Berbagai gejolak sempat beberapa kali terhembus, baik dari kalangan mahasiswa dan dosen. Segelintir mahasiswa tengah meneriakkan kontra BHP. Beberapa aspirasi tolak BHP ini pun membanjiri tembok-tembok dan buletin-buletin atau pun essay-essay lepas sampai aksi di depan gedung rektorat. Beberapa dosen yang dapat dihitung jari pun ikut bersuara walaupun hanya melalui tulisan. Pendidikan mahal jelas menjadi alasan penolakan BHP. Butir-butir dalam UU BHP seharusnya mengandung unsur keadilan, pemerataan dan kemanusiaan. Bukan malah meminggirkan rakyat miskin dengan mengusung dialektika demi kemandirian satuan pendidikan.

Bila UI, UGM, ITB dan IPB dapat dikatakan mampu secara finansial dengan berbagai pungutan mahal ataupun mengkomersialisasikan produk-produk kampus. Apakah semua Perguruan Tinggi dapat disamaratakan? Sedangkan dapat digeneralisasikan bahwa sebagian besar mahasiswa yang masuk kampus negeri sekarang ini karena secara finansial lebih murah.

Sementara itu, penelitian-penelitian yang dapat dikatakan bisa dijadikan jalan pun kembang kempis. Penelitian yang menggandeng mahasiswa pun terkesan mahasiswa hanya sebagai robot. Entah pembelajaran atau sekadar pendapatan yang diperoleh. Bahkan beberapa skripsi pun dibuat hanya untuk sekadar lulus. Bisa dilihat hak paten UNJ tiap tahunnya, nihil. Padahal dengan mengedepankan karya-karya kreatif dan inovatif mahasiswa atau dosen dari hasil penelitian, dapat dijadikan sumber kuat PT, baik bila BHP sah ataupun tidak.

Strategi masuknya BHP seharusnya sudah dipikirkan dengan matang oleh jurusan-jurusan di tiap fakultas. Jurusan atau fakultas dapat berdialog untuk memikirkan nasib mereka selanjutnya. Kesinergisan pun berpeluang untuk merumuskan berbagai alternatif solusi mengenai BHP.

Di samping terus berkoar-koar untuk tolak BHP, lebih bijak bila PT sendiri sedia payung sebelum hujan BHP mulai terimplementasi secara nyata nantinya Langkah-langkah apa yang harus dipersiapkan? Apa yang dapat dijual di masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga tidak harus menaikkan SPP mahasiswa? Faktanya, di perguruan tinggi, tak semua produk inovatif dapat dikomersialisasikan. Parker dan Mainelli (2001) mencatat bahwa dari 100 ide penelitian di perguruan tinggi Amerika saja hanya 10 yang kemudian direalisasikan dalam proyek penelitian. Dari ke-sepuluh proyek ini hanya dua yang dinilai memiliki potensi komersial dan hanya satu dari keduanya yang kemudian benar-benar menguntungkan. Bagaimana dengan Indonesia? Jangan-jangan UU BHP ini hanya bagian untuk membuat pendidikan sebagai proyek peradaban (makin) terbengkalai saja. Semoga tidak!

Oleh: Nining Parlina
Mahasiswa jurusan Psikologi Pendidikan
Universitas Negeri Jakarta
Pegiat diskusi di Forum Idekita FIP UNJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar