Jumat, 22 Mei 2009

Percepatan Peningkatan Mutu Madrasah

Tulisan ini merupakan tanggapan atas kebijakan Prof. Dr. Yahya Umar, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama yang disampaikan dalam berbagai kesempatan, khususnya pada Orientasi Pengelola Program Pascasarjana Departemen Agama tanggal, 13-14 pebruari 2005 di Jakarta. Pada kesempatan itu Yahya Umar mengemukakan kebijakan tentang percepatan peningkatan mutu Madrasah yang menjadi tanggungjawabnya.

Judul di atas secara tersirat mengandung tiga hal: persoalan mutu madrasah merupakan persoalan serius, mutu madrasah tertinggal dibandingkan lembaga pendidikan lainnya (sekolah), dan perlu upaya-upaya strategis atau kiat-kiat khusus agar madrasah dapat mengejar ketertinggalannya.

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan). Namun demikian perhatian pemerintah terhadap keberadaan madrasah masih sangat kurang, bahkan menurut Yahya Umar menyebutnya sebagai "forgotten community". Pernyataan Yahya Umar tersebut bagi banyak orang mungkin mengejutkan, namun realitas membenarkannya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Center for Informatics Data and Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS (Education Management Syatem) Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama, jumlah madrasah (Madrasah Ibtidaiyah/MI (SD), Madrasah Tsanawiyah/MTs (SMP) dan madrasah Aliyah/MA (SMA)) sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk madrasah diniyah dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang berstatus negeri. Kondisi status kelembagaan madrasah ini dapat digunakan untuk membaca kualitas madrasah secara keseluruhan, seperti keadaan guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan sarana pendukung lainnya, karena keberadaan lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah di tanah air pada umumnya sangat tergantung kepada pemerintah. Atas dasar itu, tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa madrasah-madrasah swasta yang berjumlah 32.523 buah mengalami masalah yang paling mendasar yaitu berjuang keras untuk mempertahankan hidup, bahkan sering disebut lâ yamûtu walâ yahya (tidak hidup dan perlu banyak biaya (agar tidak mati)). Namun demikian, madrasah bagi masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan dari adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %, sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 diperkirakan jumlah siswanya mencapai 5, 5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia.

Persoalannya adalah, bagaimana mempercepat peningkatkan mutu 36.105 madrasah dan 5,5 juta siswanya? Peningkatan mutu pendidikan secara merata adalah persoalan mutlak bagi eksistensi sebuah bangsa dengan tanpa membedakan identitas kultural masyarakatnya. Menempatkan madrasah sebagai lembaga pendidikan kelas dua atau menomorduakan peningkatan mutu bagi madrasah setelah lembaga persekolahan tidak dapat dibenarkan dalam perspektif apapun, bahkan kalau hal itu terjadi marupakan wujud pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan menjadi bumerang bagi bangsa dan Negara. Ketertinggalan suatu kelompok masyarakat dari sebuah bangsa pada umumnya terbukti menjadi batu sandungan dan sumber masalah bagi perjalanan bangsa itu sendiri. Fenomena terorisme dan separatisme misalnya, bukan semata dikarenakan persoalan ideologis, melainkan lebih karena ketertinggalan dalam berbagai aspek dan merasa terlupakan/terpinggirkan. Atas dasar itulah kita perlu mencontoh Negara seperti Singapura yang berupaya keras meningkatakan mutu madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Melayu agar sejajar dengan lembaga pendidikan pada umumnya.

Dalam konteks ini, penulis menyatakan kekaguman kepada Yahya Umar, atas tekatnya untuk mempercepat peningkatan mutu madrasah. Dirjen yang berlatarbelakang Depdiknas ini barangkali terkejut melihat kondisi obyektif madrasah yang sebagian terbesar masih tertinggal dibanding dengan sekolah di satu sisi dan perlakuan pemerintah yang menomorduakan madrasah selama ini.

Untuk mempercepat peningkatan mutu madrasah secara efektif, diperlukan pemahaman terhadap hakekat dan problematika madrasah. Madrasah sebenarnya merupakan model lembaga pendidikan yang ideal karena menawarkan keseimbangan hidup: iman-taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan-teknologi (iptek). Disamping tu, sebagai lembaga pendidikan berbasis agama dan memiliki akar budaya yang kokoh di masyarakat, madrasah memiliki basis sosial dan daya tahan yang luar biasa. Atas dasar itu apabila madrasah mendapatkan sentuhan menejemen dan kepemimpinan yang baik niscaya akan dengan mudah menjadi madrasah yang diminati masyarakat. Seandainya mutu madrasah itu sejajar saja dengan sekolah, niscaya akan dipilih masyarakat, apalagi kalau lebih baik. Abdul jalil, mantan kepala madrasah berprestasi (MIN, MTsN dan MAN) Jalan Bandung Malang pernah mengatakan kepada penulis, bahwa memajukan madrasah sebenarnya lebih mudah dibanding dengan sekolah. Hal ini disebabkan semangat keagamaan komunitas madrasah dan dukungan wali murid, dan pemerhati pendidikan madrasah. Ia mencontohkan, untuk menggali dana masyarakat, madrasah dapat memperolehnya dari zakat, infak, sedekah, wakaf, tasyakuran dan lain sebagainya (Tobroni, Disertasi 2005).

Persoalannya, kondisi sebagian besar madrasah sedang menghadapi persoalan serius. Menurut Yahya Umar, madrasah diibaratkan sebagai mobil tua sarat beban. Kurikulum madrasah adalah 130 % dari kurikulum sekolah karena komposisi kurikulum 70:30 (umum: agama) dan mata pelajaran umum madrasah sama dengan yang ada di sekolah. Apabila dilihat dari missinya, disamping sebagai sekolah juga sebagai lembaga dakwah. Sedangkan apabila dilihat dari kondisi guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan faktor-faktor pendukung lainnya kondisinya serba terbatas, untuk tidak mengatakan sangat memprihatinkan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa kondisi madrasah sebagian besar menghadapi siklus negatif atau lingkaran setan tak terpecahkan (unsolved problems): kualitas raw input (siswa, guru, fasilitas) rendah, proses pendidikan tidak efektif, kualitas lulusan rendah, dan kepercayaan stake holder terutama orangtua dan pengguna lulusan rendah.

Upaya apakah yang paling strategis atau kiat-kiat yang paling jitu dalam mempercepat peningkatan mutu madrasah. Menurut Yahya Umar, kalau madrasah diibaratkan mesin, maka ada tiga hal yang hendak dilakukan direktoratnya: menyehatkan mesin, mengurangi beban dan merubah beban menjadi energi. Pertama, menyehatkan mesin. Mesin dalam sebuah organisasi pendidikan dapat berwujud budaya organisasi dan proses organisasi. Madrasah yang sehat adalah yang memiliki budaya organisasi yang positip dan proses organisasi yang efektif (Robins, 1996:289). Dalam mewujudkan budaya madrasah yang baru, diperlukan konsolidasi idiil berupa reaktualisasi doktrin-doktrin agama yang selama ini mengalami pendangkalan, pembelokan dan penyempitan makna. Konsep tentang ihlas, jihad, dan amal shaleh perlu direaktualisasikan maknanya dan dijadikan core values dalam penyelenggaraan pendidikan madrasah. Dengan landasan nilai-nilai fundamental yang kokoh, akan menjadikan madrasah memiliki modal social (social capital) yang sangat berharga dalam rangka membangun rasa saling percaya (trust), kasih sayang, keadilan, komitmen, dedikasi, kesungguhan, kerja keras, persaudaraan dan persatuan. Dengan social capital yang baik, akan memunculkan semangat berprestasi yang tinggi, terhindar dari konflik yang seringkali menjadi "hama" bagi perkembangan madrasah. Lembaga pendidikan madrasah juga perlu tampil dengan nama, semangat, semboyan dan performen baru. Misalnya dengan nama baru seperti MI Putera Harapan, MTs Tunas Bangsa, MA Insan Mulia, dan lain sebagainya.

Kedua, kurangi beban. Madrasah memang sarat beban, apabila dilihat dari missi, muatan kurikulum, dan beban-beban sosial, budaya dan politik. Penyelenggaraan kurikulum madrasah perlu diformat sedemikian rupa agar tidak terpaku pada formalitas yang padat jam tetapi tidak padat misi dan isi. Orientasi pendidikan tidak lagi pada "having" tetapi "being", bukan "schooling" tetapi "learning", dan bukan "transfer of knowledge" tetapi membangun jiwa melalui "transfer of values" lewat keteladanan. Metode belajar yang mengarah pada, "quantum learning", "quantum teaching" dan "study fun" dan sebagainya perlu dikritisi. Budaya Belajar Bangsa Indonesia tidak harus mencontoh model Eropa seperti bermain sambil belajar, guru hanya sebagai fasilitator, menekankan proses dari pada hasil, mengutamakan alat belajar dan lain sebagainya. Budaya belajar Bangsa Indonesia yang banyak berhasil membesarkan orang justru yang mengembangkan sikap kesungguhan, prihatin (tirakat), ihlas (nrimo, qanaah), tekun dan sabar. Siswa madrasah harus dididik menjadi generasi yang tangguh, memiliki jiwa pejuang, seperti sikap tekun, ulet, sabar, tahan uji, konsisten, dan pekerja keras. Multiple intelligence (intellectual, emotional dan spiritual quotient) siswa dapat dikembangkan secara maksimal justru melalui pergumulan yang keras, bukan sambil bermain atau dalam suasana fun semata.

Ketiga, merubah beban menjadi energi. Pengelola madrasah baik pimpinan maupun gurunya haruslah menjadi orang yang cerdik, lincah dan kreatif. Pemimpin madrasah tidak sepatutnya hanya berperan sebagai administrator, "pilot" atau "masinis" yang hanya menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan, melainkan harus diibaratkan seorang "sopir", "pendaki" atau "entrepreneur" yang senantiasa berupaya menciptakan nilai tambah dengan cara mendayagunakan kekuatan untuk menutupi kelemahan, mencari dan memanfaatkan peluang yang ada, dan merubah ancaman menjadi tantangan (analisis swot). Keterbatasan sumber daya (manusia, material, finansial, organisasi, teknologi dan informasi) yang dimiliki madrasah bagi pemimpin yang berjiwa entrepreneur dan pendaki (climber) justru menjadi cambuk, lahan perjuangan (jihad) dan amal shaleh. Ibaratnya, beban berat di sebuah mobil dapat dirubah menjadi energi apabila sopirnya cerdas dalam memilih jalan yang menurun. Intinya, cara merubah beban menjadi energi adalah dengan cara berfikir dan berjiwa besar, positif, kreatif dan tidak kenal menyerah. Memang salah satu karakteristik madrasah adalah berkembang secara evolutif, dimulai dari sebuah pengajian di mushallah/masjid kemudian menjadi madrasah diniah dan akhirnya menjadi madrasah. Proses evolusi madrash selama ini ada yang berlangsung dengan baik dan ada yang jalan ditempat, tetapi sangat jarang yang mati. Semua itu tergantung pada orang-orang yang ada di dalamnya.

Melihat kondisi madrasah di atas, pemerintah seharusnya tidak lagi menomorduakan madrasah, melainkan memperlakukannya secara khusus agar 36.105 madrasah dan 5,5 juta siswanya dapat mengejar ketertinggalannya dan tidak lagi menjadi forgotten community. Mungkin pemetintah selama ini berasumsi: "tanpa dibantu pun madrasah sudah dapat hidup". Asumsi ini memang tidak terlalu salah, akan tetapi tidak seharusnya menjadi alasan untuk tidak membantunya. Atas dasar itulah penulis sangat mendukung kebijakan Dirjen Pendidikan Islam Prof. Dr. Yahya Umar yang akan memberdayakan madrasah, terutama madrasah swasta dalam tiga hal: memberdayakan murid, guru dan madrasah. Kita tunggu saja realisasinya.

Penulis: Dr. Tobroni, M.Si.
Dosen di Univ. Muhammadiyah Malang

sumber: pendidikan.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar