Jumat, 22 Mei 2009

SALAH KAPRAH TENTANG PENJURUSAN KELAS DI SMU

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 770), "salah kaprah" artinya "kesalahan yang umum sekali, sehingga orang tidak merasa salah kalau melakukannya". Tulisan ini mencoba untuk mengangkat beberapa hal yang salah kaprah tentang penjurusan kelas di SMU.

Seperti diketahui bersama, di akhir kelas dua SMU, setiap siswa akan dihadapkan pada tiga pilihan manakala mereka naik ke kelas tiga, yaitu : jurusan IPA, IPS, atau bahasa. Pilihan ini mau tidak mau, suka atau tidak suka, disengaja atau tidak disengaja, direncanakan atau tidak direncanakan, langsung atau tidak langsung harus ditentukan salah satunya : kalau tidak IPA, ya IPS, atau bahasa, lain tidak!

Sekarang-saat dibuatnya tulisan ini-mereka sudah duduk di kelas tiga SMU sesuai dengan jurusannya masing-masing. Idealnya, pemilihan jurusan itu berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan siswa; sehingga dengan itu mereka diharapkan akan berhasil dalam menyelesaikan studinya di SMU serta dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Namun, tidak sedikit siswa yang mengambil salah satu jurusan itu hanya lantaran nilai rapor kelas dua SMU untuk jurusan tersebut telah memenuhi syarat. Misalnya, X masuk ke IPA karena nilai Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi-nya lebih baik daripada nilai Ekonomi, Sosiologi, Geografi, atau Sejarah. Demikian juga dengan Y, nilai IPSnya lebih tinggi daripada nilai IPA, maka oleh wali kelasnya dijuruskan ke IPS. Adapun Z, karena nilai bahasa (Indonesia dan Inggeris)nya lebih bagus daripada nilai IPA dan IPS, maka diarahkan ke jurusan bahasa. Padahal belum tentu X, Y, atau Z meminati dan berbakat di jurusan tersebut.

Selain itu, masih banyak persepsi siswa yang keliru tentang pilihannya itu. Umpamanya, mereka yang masuk IPA karena ingin menghindari pelajaran "hafalan" seperti di IPS. Padahal untuk memahami reaksi kimia, contohnya, siswa harus menghafal rumus unsur berkalanya. Begitu pula untuk hewan dan tumbuhan, harus hafal istilah Latinnya, ordo, genus, kelas, dan species-nya. Untuk Fisika dan Matematika pun, banyak rumus dan dalil-dalil yang mesti dihafalkan oleh siswa!

Sebaliknya, mereka yang masuk IPS menganggap bahwa di jurusan ini lebih banyak menghafal dan tidak terlalu banyak berhitung. Anggapan seperti ini tidak seluruhnya benar, sebab di IPS pun ada mata pelajaran yang berhubungan dengan hitung-menghitung, seperti Ekonomi, Akuntansi, atau Ekonometri. Berkaitan dengan "menghafal", mata pelajaran apa saja pasti akan memulai aktivitasnya dengan itu (baca : domain kognitif taxonomy Bloom dimulai dengan menghafal-recall, C1), dus, tidak hanya di IPS saja.

Kekeliruan lainnya, adanya anggapan bahwa pendidikan IPS adalah "kelas dua" dan IPA "nomor satu". Hal ini juga salah besar. Karena keberhasilan hidup seseorang tidaklah ditentukan oleh pendidikan(IPA/IPS)nya semata, melainkan lebih ditentukan oleh bagaimana kiprah dia dalam hidupnya, di lingkungannya, di masyarakatnya, bagi bangsa dan negaranya-jelasnya bagaimana seseorang bermakna (meaningful) dan berguna (useful) ditentukan oleh peranan atau kontribusinya terhadap kehidupan dalam arti luas.

Di pihak lain, bukti empirik memang masih memperlihatkan timpangnya perhatian pemerintah/masyarakat (orang tua siswa/Dewan Sekolah) terhadap pendidikan IPS. Buktinya : silahkan cari laboratorium IPS di SMU-SMU di Indonesia, niscaya kemuskilan yang akan dijumpai, ibarat mencari jarum di tumpukan jerami! Tetapi hampir di semua SMU terdapat laboratorium IPA!

Itulah sekelumit kesalahkaprahan atau kelirumologi (meminjam istilah Jaya Suprana) tentang penjurusan di SMU. Mudah-mudahan dengan dimuatnya tulisan ini hal-hal seperti yang dielaborasi di atas tidak terjadi lagi, paling tidak dapat dieleminasi dari persepsi masyarakat.

Penulis: arief mangkoesapoetra
Guru di SMAN 21 BANDUNG

sumber: pendidikan.net


Tidak ada komentar:

Posting Komentar